Jumat, 04 Desember 2009

Lapindo dan Lingkungan

Lingkungan
Dunia Esai
Kumpulan esai, makalah, dan artikel dalam Bahasa Indonesia




Siapa sesungguhnya yang memulai ide (pencarian alasan) bahwa penyebab Lumpur Lapindo adalah gejala alam?
Bukankah sebuah korporasi jika ingin melakukan eksploitasi pengeboran seperti Lapindo harus memiliki data awal
geologi? Bukankah pula data awal geologi itu sesuatu yang wajib? Jika memang data awal geologi itu diabaikan, harga,yang harus dibayar Lapindo adalah bertanggung jawab penuh terhadap keseluruhan dampak lumpur Lapindo.

Aneh memang,secara de facto Lapindo mengakui bahwa penyebab semburan lumpur panas itu adalah mereka. Buktinya,mereka mau membayar ganti rugi sebagian. Bahkan, mereka berjanji akan membayar secara berangsur. Namun, mengapa Lapindo berusaha melakukan pembenaran diri secara de jure?

Subjektivitas Pengadilan
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahjono menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak yang terkait semburan lumpur di lingkungan PT Lapindo Brantas. Majelis hakim menilai semburan lumpur di lingkungan PT Lapindo Brantas merupakan fenomena alam.
”Fenomena alam bukan perbuatan melawan hukum,” kata hakim Wahjono dalam persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, Kamis (27/12). Pertimbangan hakim diambil dari beberapa keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan. Beberapa saksi ahli dari pihak Lapindo, antara lain Sukendar Asikin dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Agus Kuntoro, menyebutkan bahwa semburan itu bukan terjadi akibat pengeboran PT Lapindo Brantas.

Sementara itu,saksi ahli dari pihak Walhi, yakni mantan ketua investigasi penanggulangan lumpur Lapindo Rudi Rubiandini, menyatakan bahwa semburan lumpur disebabkan kelalaian dalam proses pengeboran oleh Lapindo Brantas.Jika diasumsikan benar bahwa penyebab lumpur Lapindo adalah fenomena alam (bencana), mengapa hakim tidak menelusuri proses pembuatan izin operasi Lapindo Brantas? Apakah Lapindo Brantas mendapatkan izin sesuai dengan prosedur hukum? Apakah Lapindo Brantas telah melakukan studi kelayakan (feasibility study) tentang potensi bencana? Jika tidak melakukan studi kelayakan atau proses pembuatan amdal secara benar,apakah itu bukan tindakan melawan hukum? Sampai saat ini, masyarakat tidak tahu siapa dan kapan pembuatan amdal Lapindo Brantas.

Padahal,proses pembuatan amdal sesuai amanat konstitusi harus terbuka ke publik dan melibatkan masyarakat yang berkepentingan. Proses pemilihan atas masyarakat yang berkepentingan pun diatur konstitusi. Namun alangkah janggalnya jika penyebab lumpur Lapindo adalah fenomena alam. Bagaimana proses terjadinya? Jika benar disebabkan fenomena alam,mengapa pipanya yang bocor? Mungkin saja argumentasinya, pipa sebagai pemicu.Mengapa proyek dijalankan di wilayah potensi bencana? Salah satu bukti valid Lapindo Brantas tidak bekerja sesuai prosedur adalah ketika pipa mengalami kebocoran dan penanganannya tidak sesuai dengan dokumen yang ada.

Semestinya, jika pipa bocor,penanganan harus sesuai dengan dokumen amdal. Yang terjadi adalah penanganan sesuai dengan “selera”.Atau apa yang sedang terpikirkan para ahli, itulah yang dilakukan Lapindo Brantas.Bukankah kelalaian ini merupakan tindakan melawan hukum? Hal yang paling mengherankan dalam kasus Lapindo adalah keberpihakan pemerintah. Dalam hukum lingkungan dikenal instrumen strict liability. Strict liability alias tanggung jawab mutlak memang diatur UU Lingkungan Hidup.Dengan kata lain, perusahaan yang menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan harus bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkannya.

Jika kita lihat sikap pemerintah dalam kasus Lapindo, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan
pengelolaan lingkungan. Dalam kasus Lapindo, dampak seperti rusaknya infrastruktur dan biaya penanganan (termasuk biaya bagi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) ditanggung pemerintah.Pembuatan nama Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (bukan lumpur Lapindo) telah menunjukkan keberpihakan pemerintah.Pemerintah kelihatannya sejak awal telah berusaha menggiring opini publik bahwa semburan lumpur Lapindo adalah murni bencana alam.

Pemerintah tidak melihat bahwa dampak sikap pemerintah ini telah meluluhlantakkan teoriteori dalam ilmu lingkungan.
Sikap pemerintah itu telah menghancurkan teori-teori yang dipelajari kaum akademisi seperti administrasi lingkungan,ekonomi lingkungan,hukum lingkungan, manajemen lingkungan, prinsip ekologi.
Pemerintah melakukan penanganan dari aspek kepentingan politik pemerintah semata.Untuk apa akademisi belajar ilmu lingkungan jika tidak diterapkan di masyarakat? Lebih menyedihkan lagi ketika penanganan diberikan ke perguruan tinggi dengan cara setengah hati. Melihat bahwa penanganan lumpur Lapindo dan penegakan hukum kasus Lapindo akan berpengaruh terhadap masa depan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di negeri ini,pemerintah harus bersikap
tegas.

Menjadi bangsa apa negeri ini jika seluruh kasus korporasi yang merugikan masyarakat ditanggung oleh pemerintah? Tidakkah janggal jika dampak Lapindo dibiayai pemerintah, korporasi lain yang juga merugikan masyarakat ditanggung
korporasi itu sendiri? Oleh sebab itu,pemerintah harus berprinsip bahwa korporasi bertanggung jawab secara mutlak
terhadap dampak yang ditimbulkannya.Jika tidak, masa depan pengelolaan SDA kita akan semakin runyam.(*)

Oleh: GURGUR MANURUNG
sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lapindo-dan-lingkungan-2
gambar: http://www.greenpeace.org/raw/image_full/seasia/en/photosvideos/photos/view-of-the-mud-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar